Laman

Minggu, 11 Maret 2012

sebut saja mawar

 Namaku sebenarnya Siti Zubaedah.
Sejak kecil teman-teman memanggilku Tolol.
Namun, semenjak tak ada ayah, mereka memanggilku, Mawar....

Umurku dua belas.
Kadang aku kesal ketika mereka menyebutku Tolol.
Dari dulu aku memang tidak sekolah. Tak ada sekolah yang mau menerimaku. Mereka bilang aku berbeda.

Oh iya, aku tinggal hanya berdua dengan seorang pria tua baik hati yang biasa kupanggil ayah.

Semenjak ibu bekerja di Malaysia, dua tahun yang lalu, ayah menjadi sangat perhatian padaku.
Dari pagi hingga petang, ayah sibuk bekerja keras di kebun singkong milik tetangga.
Dan, setiap malam tiba, seperti biasanya, ayah selalu hadir menemani tidurku.
Dia selalu membelai lembut rambutku, mengecup dahiku hingga membisikkan kata-kata yang tidak aku mengerti maknanya.
Kebaikannya yang berlebihan selalu membuatku menangis sedih dan kadang terbuai menikmati setiap sentuhan lembut jemari kebapaannya di tubuhku.

Namun, malam ini terasa berbeda.
Tak ada lagi ayah di sampingku.
Siang tadi ayah begitu ketakutan saat seluruh warga desa mengejarnya dan membuatnya berapi, berteriak kencang dan menyayat, hingga sunyi.
Malam ini terasa asing bagiku.
Lain.
Penuh kedamaian namun hampa mencekam jiwa.
Tapi, aku tetap menangis seperti malam-malam sebelumnya.
Polos, di atas tempat tidurku.
Berbaring sendirian, dengan perut gendutku yang terus menendang-nendang...